Surakarta berkembang dari wilayah
suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang
meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada
di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan
("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat
tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut
"Ferry Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan
Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang
tokoh menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga
dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"[1] (sekarang
masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).
Pendirian
dan perkembangan
Kejadian yang memicu pendirian
kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning
("Gègèr Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura
tahun 1742. Pemberontakan
dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
dapat ditumpas dengan bantuan VOC dan keraton Kartasura dapat direbut kembali, namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I) dan Tumenggung Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. (Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta"[2]). Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Surat
Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang
sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.
Lambang
Kasunanan Surakarta
Lambang
Praja Mangkunagaran
Berlakunya Perjanjian
Giyanti (13 Februari
1755) menyebabkan Surakarta menjadi pusat
pemerintahan Kasunanan
Surakarta, dengan rajanya Pakubuwono III. Yogyakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB)
I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yang sama dengan
Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian
Salatiga 1757 memperluas wilayah
kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran
Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota
dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Masa
kolonial Belanda 1757-1942
Surakarta pada masa
kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang
berhak memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi
diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua
macam kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan
keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan
Belanda. Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara
Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur Jenderal
G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan
pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614,
sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]
Masa
pendudukan Jepang 1942-1945
Surakarta pada masa
pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri Sunan
disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro
Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan.
Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang
mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah kochi
diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI
dari Surakarta adalah Wongsonegoro,
Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman
Widyodiningrat.[3]
Masa
Perang Kemerdekaan 1945-1949
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pakubuwana XII
Pada masa ini terjadi
sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan hak
otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir
bersamaan dengan lahirnya Republik
Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September
1945, Sri Sunan Pakubuwana
XII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta
Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik
Indonesia dan berdiri di belakang pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6
September 1945 pemerintah RI memberikan piagam kedudukan kepada Sri Sunan
Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh Soekarno dan tertanggal 19 Agustus
1945.[3]
Komitmen pemerintah untuk
menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19
Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Pengakuan
tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat militer kepada Sri Sunan
Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada
tanggal 1 November 1945.[3]
Belanda yang tidak
merelakan kemerdekaan Indonesia
berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah
ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang
oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku
kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan
oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya
kelompok Jenderal
Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan, secara otomatis Surakarta
yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan
Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai
bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan
pemerintah Indonesia tidak menumpasnya
karena pembelaan Jendral
Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga
berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang
disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan
Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah
provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan
dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai
simbol saja.
Pada awal pemerintahannya,
Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi
politik Republik
Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
D.I.
Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu mendengar pengumuman
tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran (Mangkunegara VIII dan Susuhunan
Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan ke Presiden RI Soekarno dan
menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan) adalah bagian
dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini, Presiden RI Soekarno menetapkan
pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS).[rujukan?]
Pada Oktober 1945,
terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang salah
satu pimpinannya adalah Tan Malaka,
tokoh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS,
dan menghapus Mangkunegaran dan Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari dikenal
sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan tanah-tanah
pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform)
oleh gerakan komunis.[rujukan?]
Tanggal 17 Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH
Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh
pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat
Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro,
juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan
pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena banyaknya kerusuhan,
penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan
DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran dan Kasunanan. Sejak saat
itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu keluarga/trah biasa dan
keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa.
Keputusan ini juga mengawali kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya
dibentuk Karesidenan
Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan
Surakarta dan Praja
Mangkunegaran, termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni
diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni 1946
terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta
oleh sebuah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya
Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia. PM Syahrir ditahan di suatu rumah
peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi pemberontakan
ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan pemberontak.
Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke
penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang
dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke
14-pimpinan pemberontak.
Presiden Soekarno lalu
memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto,
pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan
pemberontak. Namun demikian Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau
menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak
kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman.
Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol.
Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen
Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap
di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden, setelah
Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap Presiden Soekarno.
Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. PM
Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan pemberontak
dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak diampuni oleh
Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
Serangan
Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945 sampai
1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah Indonesia
(termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada Desember 1948, Belanda
menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI sudah hancur
dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai bergerilya di
hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk membantah klaim
Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem" yaitu
serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan Surakarta
selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi pada
tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk
memperingati peristiwa ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan
"Jalan Slamet Riyadi".
Kepemimpinan Slamet Riyadi
- yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS - pada Serangan Umum ini sangat
mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van Ohl ?), yang sempat berkata
Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya, ketika acara penyerahan kota Solo.
1998
Mal
Ratu Luwes di Pasar Legi yang terbakar
Pada tahun Kerusuhan
Mei 1998, tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan
pengrusakan rumah-rumah penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga
menyebabkan kota Solo lumpuh selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet
Riyadi menjadi sasaran anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan
pertokoan, antara lain Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil
di jalanan dibakar dan dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di
Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus
aksi serupa. Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke
jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor.
Bahkan juga penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang
semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo
Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang
Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya
dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak
kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga
menerjang Kantor Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga
turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko
sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan
Gading dan sekitarnya.[5][6]
Kerusuhan tak hanya di
Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di
Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di
samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo,
Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel
dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut.
Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang
membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar
massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan
massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes
Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah
massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih
terjadi di beberapa jalanan. [5]
Kerusuhan kemudian merambat
menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan
milik orang
Tionghoa, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan
Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan
cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran. [5]
Siang hari tanggal 14 Mei
peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti
Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru
juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata, amuk massa di Solo,
14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang
alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan
dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu
tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua
orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT
UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru
diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban
jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah
dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa. Dari 33 mayat itu, 14 di
antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar
Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di
sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari
500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga
kerja Solo menganggur. Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak
MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian
fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar.
Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar[7][5], sementara sumber
lain memperkirakan kerugian mencapai 600 miliar[8]
Dua bulan setelah kerusuhan
lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat
setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau
seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central
Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami
Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil. Pascatragedi tersebut,
berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo juga tampak
mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah
bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh
terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan
berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain yang tampak
adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Pintu
dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi
oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat,
sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite,
namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa
terpantau, terawasi dan terkontrol.[5]
Beberapa bulan usai
kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan
meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan
dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar
di jalan umum. [5]
Data kerusuhan Mei 1998
di Solo[9]
|
|||
No.
|
Jenis
|
Tingkat kerusakan
|
Jumlah
|
1
|
Perkantoran/Bank
|
Dibakar/dirusak
|
56
|
2
|
Pertokoan/
swalayan
|
Dibakar
|
27
|
3
|
Toko
|
Dibakar/dirusak
|
217
|
4
|
Rumah
makan
|
Dibakar
|
12
|
5
|
Showroom
motor/mobil
|
Dibakar/dirusak
|
24
|
6
|
Tempat
pendidikan
|
Dirusak
|
1
|
7
|
Pabrik
|
Dibakar
|
8
|
8
|
Mobil/truk
|
Dibakar
|
287
|
9
|
Sepeda
Motor
|
Dibakar
|
570
|
10
|
Bus
|
Dibakar
|
10
|
11
|
Gedung
bioskop
|
Dibakar
|
2
|
12
|
Hotel
|
Dibakar
|
1
|
Kerusuhan kembali terjadi
pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam
SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta
fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada
hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan
Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan
berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut.[5]
Hingga saat ini tidak ada
dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam sejarah ini
mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29 Oktober
2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan
11 September, kelompok garis keras "Laskar Islam
Surakarta" melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di
Solo.
Sehubungan dengan terorisme, wilayah di
sekitar Solo dikenal sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti
pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada
tanggal 3 Desember 2002, Ali Ghufron
atau "Mukhlas", seorang tersangka Bom Bali dan pemimpin Jemaah Islamiyah, ditangkap
di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan transportasi
yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion
Air Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang
meninggal dunia dan Kecelakaan kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu
orang meninggal di rumah sakit.
Sejak 2005, setelah Joko Widodo terpilih
menjadi Wali Kota Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan
bangunan-bangunan yang terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per
satu dibersihkan.
Sumber :
id.wikipedia.org
Sejarah Kota Solo
9 Out Of 10 Based On 10 Ratings. 9 User Reviews.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul Sejarah Kota Solo. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://astekad.blogspot.com/2012/03/sejarah-kota-solo.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Joe Astekad - Minggu, 04 Maret 2012
Belum ada komentar untuk "Sejarah Kota Solo"
Posting Komentar